Langsung ke konten utama

Karpet Merah Untuk Sang Asesor

The Red Carpet

Beberapa orang di utus untuk menjadi tim asesor di salah satu sekolah. Berbagai pagelaran meriah turut menyambut kedatangan mereka. Mereka disebut sebagai orang yang akan menilai diantaranya standar sarana-prasarana, tata kelola, pembiayaan sekolah, lalu memastikan seluruh anak mendapat pendidikan yang layak. Benarkah?

Jika memang benar, pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak saya adalah, mengapa pihak sekolah mesti selebay itu? Mengapa menyambut beberapa asesor harus munggunakan karpet merah, aksi drumb band, hingga kalungan bunga?

Lalu kenapa saat seorang petani yang taat membayar komite, nelayan yang ikhlas menyisihkan sedikit hasil tangkapannya demi membeli seragam baru si anak, atau ibu-ibu penjual sayur yang terpaksa tidak pergi ke pasar karena menghadiri rapat wali murid dengan pihak sekolah tidak disambut semeriah itu?

Entah kenapa, hidup ini seringkali nampak begitu paradoks. Ketika seorang relawan di ujung negeri, yang tak henti-hentinya menebar virus baca, membangun satu komunitas, lalu menginspirasi banyak anak di pelosok tak pernah diperlakukan sebagaimana tim asesor itu.

Demikian pula saat beberapa pegiat literasi yang ikut menggagas aksi menulis surat serempak kepada Presiden beberapa waktu lalu. Kegiatan itu hanya dimuat dalam satu postingan fecebook dan tak begitu banyak menuai respon.

Sementara di sisi lain, para pejabat yang telah dipasilitasi oleh negara itu disambut sedemikian meriah dan menerima pujian setinggi langit. Mereka dianggap sebagai simbol pendidikan. Kedatangannya diiringi gemuruh marching band, lalu pihak sekolah memberi kalungan bunga, lalu diberitakan di media lokal. Aneh.

Kita mewarisi satu kebudayaan yang suka mendramatisir sesuatu secara berlebihan. Kita sering melihat manusia berdasarkan apa yang dikenakannya, seberapa banyak uang yang dimiliki, atau seberapa tinggi pangkat dan jabatannya.

Kedatangan satu tim asesor bukanlah sesuatu yang harus disambut berlebihan hingga mengharuskan mereka berjalan di atas karpet merah. Anggap saja itu adalah tugas biasa yang mesti mereka lakukan atas pasilitas mewah yang telah didapatnya dari negara.

Kita seolah-olah mengamini bahwa cita-cita tentang pendidikan seakan menjadi milik mereka yang sedang menjabat itu. Tanpa mereka, seolah-olah pendidikan kita entah seperti apa. Sementara mereka yang kecil, tak pernah dicatat sebagai mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk negara.

Mataram, 23 Oktober 2017

Komentar

  1. Paragraf ke3 dari bawah dalem banget.
    Jadi tetiba susah merangkai kata-kata.

    Berkunjung sore2..

    BalasHapus
  2. tapi itu lah kenyataan yang ada sekarang
    yang bener-bener kerja dan mengabdikan diri untuk masyarakat bahkan negara tanpa embel-embel apapun sering terlupakan
    di toleh pun tidak
    tapi lihat mereka yang yang punya jabatan tinggi namun berhati korupt tetep aksis di atas..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k