Langsung ke konten utama

Tan Malaka yang Selalu Abadi

Buku Madilog karya Tan Malaka

Beberapa waktu lalu, saya jalan-jalan ke sebuah toko buku. Di satu rak, saya menyaksikan Madilog masuk dalam daftar 100 buku yang berpengaruh dan berkontribusi terhadap gagasan kebangsaan versi majalah Tempo.

Sampai kapanpun, buki ini memang selalu keren. Seorang senior yang juga alumni UNHAS pernah mengirimkannya dalam format pdf beberapa tahun lalu. Saat itu saya agak kesulitan membacanya sebab huruf-hurufnya sangat kecil, tidak jelas. Saya juga pernah berniat mencetaknya namun selalu kandas karena katong tak mengizinkan.

Buku ini begitu fenomenal meski ditulis dalam segala keterbatasan. Saya membawanya kemana-mana, membacanya berulang-ulang. Memang tak mudah memahami setiap buku bertemakan filsafat. Perlu waktu  lama untuk mencerna isinya dengan baik.

Dulu, Madilog pernah dilarang beredar. Bahkan ketika pemikiran penulisnya dibedah di suatu kota, banyak massa dari salah satu organisasi datang menyerbu. Mereka melarang diskusi pemikiran digelar. Mereka memaki-maki, lalu menyebut si penulis adalah komunis yang tak layak dikenang. Mungkin mereka kurang piknik. Entahlah.

Di kanal-kanal media, banyak pula yang sering mendebat pemikirannya. Tan disebut-sebut sebagai antek komunis. Bukunya tak layak dibaca. Pemikirannya dianggap sesat sebab mengikuti ajaran Marx. Padahal saya tetap yakin bahwa mereka yang senang berdebat itu adalah korban ketidaktahuan. Mereka hanya mampu mendebat, tanpa mampu menghasilkan karya. Mereka tidak mampu menghasilkan buku untuk menyanggah gagas Tan Malaka.

Mereka tidak tahu bahwa pada satu masa, nama Tan Malaka hendak dihilangkan dalam lipatan sejarah. Pemikirannya dilarang beredar sebab dianggap bertentangan dengan rezim. Bahkan sampai saat ini, saya tetap yakin bahwa masih banyak generasi muda yang sama sekali tak mengenalnya. Apalagi membaca karya-karyanya.

Namun kita tidak harus menyalahkan mereka. Sikap buta sejarah itu jelas dipengaruhi sejumlah patahan realitas sosial yang kemudian memberikan kontribusi pada ketidaktahuan atas siapa-siapa yang menjadi pendiri republik ini.

Kini, Madilog bertengger di rak buku saya bersama yang lain. Saya selalu senang membacanya. Saya membawanya kemana-mana. Saya menikmati jengkal demi jengkal petualangan revolusioner itu di lembar-lembar awal. Membicarakannya adalah membicarakan benih awal tentang Indonesia.

Kalaupun belakangan tokoh yang menonjol adalah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, maka tetap saja tidak mengecilkan peran Tan Malaka sebagai bapak republik, yang pada setiap kalimatnya terdapat pedang yang hendak merobek-robek jantung kolonialisme.

Di mata saya, Tan adalah seorang filosof yang hadir di tengah amuk peperangan. Banyak tokoh besar di luar sana yang juga terkagum-kagum serta begitu menghormati jasa-jasanya. Muhammad Yamin menyebutnya Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan George Washington di Amerika atau Rizal di Filipina.

Kemudian, Rudolf Mrazek menyebutnya sebagai manusia komplet. Ada juga ilmuwan Dr Alfian yang mengatakn bahwa ia adalah pejuang revolusioner yang kesepian. Mereka menyebutnya hebat. Tan merupakan seorang aktivis politik yang lincah, yang menghabiskan 20 tahun di dalam pembuangan di berbagai negara.

Sampai saat ini, saya tak habis-habisnya mengagumi kemampuannya dalam menulis sebuah buku filsafat di tengah-tengah deru revolusi dan perjuangan. Madilog menjadi buku awal yang hendak membongkar aspek mitologis pada cara berpikir masyarakat kita. Ia berusaha memperkenalkan cara berpikir logis dan terstruktur, yang sejatinya bisa menjadi obor penerang bagi gelapnya cara berpikir.

Saya yakin, kekuatan berfikir semacam ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang gemilang seperti Tan Malaka. Orang-orang yang mau memaksakan otaknya berfikir keras terhadap realitas yang terjadi.

Di dalam Madilog, ia mengungkapkan betapa dirinya menulis dalam situasi keterbatasan. Ia menulis ditengah bayang-bayang intel yang kapan saja bisa mencium aktivitasnya. Kondisi itu membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk memperdalam referensi dengan membaca pustaka di banyak perpustakaan besar. Ia tak bisa leluasa meminjam banyak buku yang berkaitan dengan tulisannya. Hebatnya, Tan tak pernah berhenti menulis. Kelak, tulisannya menembus pikiran banyak orang. Karya-karyanya menjadi bacaan wajib setiap aktivis serta praktisi perubahan.

Saya mengamini ungkapannya yang fenomenal yakni “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi!”

Kata-katanya menggugah. Sosoknya digandrungi oleh mereka yang benci terhadap kelaliman rezim. Bahkan belum lama ini, salah satu stasiun televisi swasta membahas kiprah bapak republik itu secara mendalam.

Tan Malaka selalu abadi. Suaranya melintasi zaman dan terus nyaring.

Mataram, 27 Agustus 2017

Komentar

  1. Buku ini mungkin alasan kenapa kita gak pernah merasa puas ketika (hanya) mengenal Tan Malaka atau tokoh lain hanya melalui literatur sekolah....karena itu hanya bagian kecilnya saja....bahkan mungkin sudah disetting sedemikian rupa...wajar kalo kita begitu excited ketika menemukan ide dan pemikiran Tan yang sebenarnya...respect to Mas Imron

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih