Langsung ke konten utama

Menanti Janji Fahri Hamzah


Nota Kesepahaman Bersama Fahri Hamzah

Politisi yang dikenal kerap mengkritik keras kebijakan Pemerintah itu kembali pulang kampung. Fahri Hamzah mengunjungi NTB disela-sela kesibukannya di Jakarta. Fahri berencana menemui orangtua serta berlibur di Pulau Moyo Sumbawa. Namun sebelum itu, dia terlebih dahulu singgah di Mataram, Nusa Tenggara Barat untuk bertemu dengan sejumlah mahasiswa Sumbawa pada kegiatan bertajuk dilaog kebangsaan.

Yang paling saya tunggui darinya adalah analisa-analisa mendalam Fahri tentang kondisi kebangsaan. Saya mengamini bahwa tak banyak politisi senayan yang punya keberanian sepertinya. Lantang berbicara meski taruhannya sebuah jabatan. Bukan sekali ini saya bertemu dengan politisi yang akrab disapa FH itu. Dahulu, saya pernah berjumpa dengan beliau diacara dialog kebudayaan yang juga digelar di Mataram.

***

Fahri Hamzah bukanlah sosok baru bagi masyarakat Sumbawa. Politisi yang kerap terlibat cekcok dengan KPK itu dulunya sempat kuliah di Universitas Mataram, Lombok sebelum akhirnya nasib membawanya ke Ibukota. Fahri pindah ke Jakarta bukan untuk sesuatu yang tidak jelas. Orang sekelas Fahri tak mungkin melangkah tanpa perencanaan. Dia ingin melanjutkan studi serta lebih banyak mendapatkan waktu untuk menggali pengetahuannya disana.

Di masa reformasi, dia punya banyak kontribusi pada gerakan mahasiswa Universitas Indonesia. Fahri merupakan pendiri organisasi kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesia yang dikenal konsisten menyuarakan perlawanan serta berperan aktif dalam menggulingkan rezim otoritarian ala pak Harto.

Lama berselang, Fahri memilih untuk menetap di Jakarta dan terjun kedunia politik. Pemuda itupun resmi berkantor disenayan setelah mendapat dukungan penuh dari masyarakat NTB. Hingga saat ini, Fahri tercatat sebagai salah satu politisi yang kontroversial. Tak jarang, pernyataan Fahri mengundang perhatian sejumlah tokoh lain.

Di beberapa media online, saya sering membaca kicauannya. Bahkan saya kerap tertegun melihat politisi PKS itu berdebat dilayar kaca. Bicaranya selalu lantang dan belak-belakan. Apalagi jika menyangkut persoalan KPK. Sebagai orang Sumbawa, saya cukup mengenal karakter Fahri. Mungkin hal itu pula yang membuatnya tidak disukai banyak politisi lain yang berhaluan berbeda. Bahkan dulunya, saya sempat mempertanyakan keputusan PKS yang mencopot keanggotaannya tanpa sebab.

Di mata saya, politik itu ibarat pasar yang didalamnya tersebar ribuan orang dengan berbagai macam kepentingan. Di parlemen, banyak politisi yang harus tergantikan posisinya karena tak lagi searah dengan pengusa. Sukurlah hal serupa tidak terjadi pada Fahri. Kemenangannya atas PKS di persidangan beberapa waktu lalu, semakin menambah kepercayaan publik padanya. Sekali lagi Fahri membuktikan bahwa dirinya memang layak menjadi pimpinan legislatif.

***

Malam itu, Fahri hadir dengan kemeja biru dan peci hitam seperti biasanya. Datang dari Jakarta bersama rombongan, dia hendak menjadi pembicara pada kegiatan dialog bertajuk empat pilar kebangsaan yang digelar oleh mahasiswa Sumbawa di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Bertempat di aula lantai tiga hotel Narmada Convention Hall, mantan aktivis 98 itu memulai dialog dengan topik-topik ringan seputar isu kemahasiswaan. Berbicara dihadapan mahasiswa Sumbawa membuatnya tak segan menyelipkan istilah-istilah kesumbawaan untuk memancing antusiasme peserta. Satu hal yang paling melekat dibenak saya adalah istilah Kebo Belamung yang disampaikan Fahri. Sebagai orang Sumbawa, saya paham betul makna dari istilah ini.

Kebo Belamung adalah sindiran masyarakat Sumbawa bagi mereka yang hidup bermalas-malasan. Saat masih kecil, saya sering mendengar istilah ini dari orang tua. Fahri sengaja menggunakan istilah itu agar mahasiswa Sumbawa tidak mengenal kata malas. Mahasiswa tak boleh menjadi dangkal. Mereka harus lebih terbiasa membaca ketimbang berbicara. Peka dan memahami segala persoalan hingga menjadi keyakinan yang utuh terhadap sebuah kebenaran. Hal ini bisa mendorong mereka untuk berbicara lantang dihadapan siapapun. Tak terkecuali dihadapan pengusa.

Sejumlah mahasiswa yang hadir nampak antusias menghujani politisi itu dengan berbagai pertanyaan. Mereka bertannya seputar isu-isu nasional, hingga masalah kedaerahan. Ada yang mempertanyakan tentang eksistensi pemerintah dalam menyelenggarakan negara, ada juga yang bertanya tentang komitmen Fahri dalam pembuntukan Provinsi Pulau Sumbawa seperti yang dulu kerap dia gemborkan.

Namun satu hal yang membuat saya tertarik adalah saat pembacaan nota kesepahaman antara mahasiswa Sumbawa dengan Fahri Hamzah di penghujung acara. Nota itu berisi beberapa tuntutan mahasiswa terkait kondisi sosial yang terjadi di Sumbawa. Mereka mendesak agar Fahri tidak hanua berfokus pada permasalahan nasional, namun juga pada pembangunan Sumbawa kedepan.

Awalnya saya menduga kuat Fahri tidak mau menandatanganinya. Sebab tiga isi tuntutan tersebut harus direalisasikan dalam waktu dekat. Akan tetapi dugaan saya salah. Tanpa berpikir panjang, Fahri lansung menandatangani nota kesepahaman itu dihadapan seluruh peserta yang hadir. Saya yang duduk diantara ratusan peserta, ikut merayakan kesepakatan itu dengan gemuruh tepuk tangan.

Sebenarnya saya masih berharap Fahri Hamzah berbicara lebih lama lagi. Saya ingin mendengar bagaimana tokoh sekelas beliau menanggapi krisis kebangsaan yang tengah melanda republik ini. Saya penasaran bagaimana pula tanggapannya tentang konsistensi pergerakan mahasiswa saat ini dibanding zamannya dulu.

Sayangnya, kita tak selalu memiliki banyak waktu saat berdialog dengan petinggi negara. Mereka selalu terpaku pada lembar-lembar jadwal perjalanan dinas. Namun, saya selalu antusias menunggu realisasi janji beliau sebagaimana yang tertuang pada nota kesepahaman. Untuk itu, saya siap mengawalnya.

Mataram, 25 April 2017

Komentar

  1. saya baru tahu kalau pak fahri orang sumbawa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. nama blog ini juga mirip...Imron Fahri Hamzah tuh

      Hapus
  2. jujur saya kurang suka yg berbau politik gan... apalagi jika ada keributan hanya karena masalah politik.

    BalasHapus
  3. knp gak dteng pas launching buku BM tu bang.?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya memang sempat diundang melalui media bang. Tapi sengaja tidak mau datang karena yang bersangkutan tidak mengundang elemen mahasiswa secara keseluruhan.

      Hapus
  4. Ini nih mahasiswa yang kritis,
    semangat kebangsaannya patut dibanggakan.

    Kebo Belamung ... no way !
    Awake ... yes !

    Semoga bang Fahri segera menindaklanjuti nota kesepahaman. Udah semester ke berapa mas? Terimakasih tulisan mas Imron keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya semester akhir mba. Doakan semoga saya segera selesai S1 dan melanjutkan studi.

      Hapus
  5. ahihihii....andai saya jadi FH untuk memincut hati kalian para warga, pasti nggak bakalan mikir lagi, wong tebang nandatangani nota doang jeh...soal realisasinya mah...gimana nanti ajah, bukannya nanti gimana ini kok.

    BalasHapus
  6. Lama menjabat. baru membuat janji, seharusnya tanpa janji langsung bertindak langsung merealisasikannya.
    ah mungkin karena mau dekat pemilu, mencari simpati lagi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k