Langsung ke konten utama

Saidi, Kisah Calabai Suci di Tanah Bugis


Buku Calabai Karya Pepi Al-Bayqunie

Setiap orang tua selalu mengidamkan sosok anak yang mampu menjadi kebanggaan bagi semua orang. Mereka tak henti-hentinya berdoa seraya berharap agar kelak, si anak tumbuh serupa pepohonan rindang yang menyejukkan banyak orang.

Namun, apa jadinya jika ternyata ditengah perjalanan hidup, semua espektasi orang tua berbanding terbalik? Anak yang dibanggakan itu, bukanlah sosok yang mereka idamkan. Bahkan, sang buah hati berpotensi mendatangkan aib bagi keluarganya.

***

Tuntas sudah saya membaca buku berjudul Calabai, karya Pepi Al-Bayqunie, terbitan Javanica tahun 2016 lalu. Buku yang terinspirasi dari perjalanan hidup seorang bissu di Sulawesi itu sungguh membuat saya larut dalam hegemoni haru yang berkepanjangan.

Buku setebal 385 halamain ini mengantarkan saya pada sisik melik kehidupan para bissu, ahli waris adat dan tradisi luhur suku Bugis yang dipercaya menjadi penghubung antara alam manusia dan alam dewata.

Beberapa tahun silam, sebelum membaca buku ini, saya pernah diceritakan tentang keberadaan bissu di Sulawesi oleh salah seorang sahabat. Sahabat itu adalah alumni Universitas Hasanuddin Makassar. Dia berkisah tentang sosok bissu yang keseluruhannya adalah calabai. Mereka adalah para pemangku adat yang memiliki kesaktian berupa ilmu kebal terhadap benda tajam.

Cerita itupun dibenarkan dalam buku ini. Bissu memang memiliki kesaktian berupa ilmu kebal dan kemampuan supranatural sehingga dipercaya bisa berkomunikasi dengan dunia lain. Mereka adalah pemuka spritual yang telah melampaui sifat laki-laki dan perempuan di dalam dirinya. Mereka adalah para pengemban tugas sebagai penjaga keseimbangan alam.

Namun yang menarik perhatian saya tak hanya itu, yang membuat saya tertegun adalah bagaimana para bissu menjaga adat istiadat dan warisan para leluhur mereka selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Bagaimana pula mereka mengesampingkan nafsu duniawi demi menjaga keberlansungan hidup masyarakat Bugis sekian lamanya.

Buku ini dengan apik membabar kisah perjalanan hidup Puang Matoa Saidi. Seorang yang ditunjuk dewata dalam mengemban tugas suci sebagai bissu tertinggi. Seorang yang telah mencapai tingkatan spritiual yang tinggi dalam dunia kebissuan, lalu mengabdikan dirinya demi menjaga cita-cita para leluhur suku Bugis.

Layaknya kebanyakan orang di luar sana, Saidi terlahir dengan kelamin laki-laki. Namun, tabiatnya sungguh menyerupai perempuan. Orang-orang dikampungnya, Lappariaja, Sulawesi Selatan menyebutnya calabai.

Bagi masyarakat Bugis, calabai adalah sebutan bagi laki-laki yang memiliki tabiat menyerupai perempuan. Calabai tak sepenuhnya bisa diterima dengan baik ditengah masyarakat. Saidi tidak tumbuh dalam iklim yang serba demokratis seperti sekarang. Dahulu, terlahir sebagai calabai adalah duka bagi sebagian orang. Mereka akan mendapat pengadilan sosial, dijustifikasi sesuka hati atas nama tuhan dan agama.

Tak terkecuali Puang Matoa Saidi, hukum ini juga berlaku padanya. Takdir hidup yang menggiringnya sebagai calabai bukanlah sebuah berkah di masa kecil. Bahkan dalam usia yang masih belia, Saidi harus menanggung beban yang begitu besar. Terlebih lagi ketika ayahnya, Puang Baso, marah dan menolak saat mengetahui tabiat Puang Matoa Saidi. Ternyata anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga itu, adalah seorang perempuan yang bersemayam dalam tubuh laki-laki.

Tak ingin menggoreskan luka lebih dalam di hati orang tuanya, dengan berat Saidi memilih pergi. Saidi memilih meninggalkan keluarga tercinta, maninggalkan kampung halamannya. Dia memilih berpetualang, mencari jati diri hingga kelak menjadi sosok yang kehadirannya dirindukan banyak orang.

Sepintas, Saidi serupa remaja yang hendak menemukan jawaban. Dia tidak mengerti dengan takdir. Bukankah Tuhanlah yang menghendekinya terlahir sebagai calabai? Lalu mengapa orang-orang di luar sana selalu mengatasnamakan tuhan untuk menabur orkestra getir di dalam dadanya. Setidaknya, pertanyaan inilah yang selalu membayangi benak Saidi, sebelum Daeng Madenring, lelaki tua yang belakangan menjadi ayah angkatnya itu, membawa dirinya ke Segeri, negeri para bissu.

Di Segeri, Saidi bertemu dengan orang-orang yang menginspirasi hidupnya. Tak seperti di kampung halamannya, di Segeri, bissu begitu dihormati. Di sana, bissu memegang perananan penting ditengah masyarakat yakni sebagai pemangku adat.

Satu hal yang membuat saya tertarik pada buku ini adalah saya banyak menemukan hal baru di dalamnya. Saya menyukai ulasan yang berisi penjelasan-penjelasan singkat tentang budaya suku Bugis di Sulawesi. Penulis mengisahkan sesuatu dengan sederhana, sehingga mudah dipahami pembaca.

Di banyak bagian, saya menemukan beberapa referensi tentang sureq I La Galigo, sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis. Bentuknya berupa kitab yang berisi puisi bahasa Bugis dan ditulis dalam huruf Lontara kuno. Para bissu tentu sangat mahir membacakan kitab ini.

Sureq I La Galigo (Foto: Wikipedia)

Di bagian yang lain, saya juga mendapat referensi tentang ritual Mappalili. Sebuah upacara adat turun sawah yang dipimpin lansung oleh bissu. Upacara ini digelar untuk meminta rahmat kepada sang Pencipta sebelum masyarakat memulai aktivitas pertanian.

Pada saat upacara berlansung, para bissu juga menampilkan atraksi tarian Manggirik, sebuah tarian fenomenal dalam dunia kebissuan. Di sinilah ajang unjuk kebolehan bagi mereka. Para bissu memamerkan ilmu kebal kepada segenap penonton. Keris yang mereka selipkan dipinggang saat acara dimulai, perlahan dicabut, lalu dengan berani mereka tusukkan keris tersebut ketubuhnya.

Begitulah calabai. Pepi Al-Bayqunie dengan santai menjelaskan sisik melik kehidupan Puang Matoa Saidi dalam bukunya. Betapa panjangnya perjalanan yang harus ditempuh laki-laki gemulai itu, hingga mengantarkan dirinya sebagai bissu tertinggi. Punilas juga secara gamblang menjelaskan semua rutinitas para pemangku adat suku Bugis itu satu persatu. Ceritanya mengalir, pembaca digiring keadalam dunia spritualitas bissu yang dipenuhi aura mistis.

Di akhir kisah, Saidi akhirnya menemukan jawaban atas takdirnya. Di akhir perjalanan panjang itu, dia memahami bahwa segala kepedihan di masa belia, adalah cara Dewata menjadikannya sebagai orang yang begitu dihormati dan diagungkan.

Mataram, 08 Maret 2017

Komentar

  1. Saya masih belum tau banyak soal peradaban bugis...thx for sharing kakakk.

    BalasHapus
  2. Kitab seperti itu, sekarang masih ada yang bisa baca gak ya, Mas ?
    Terima kasih sharingnya mas, tambah pengalaman.he
    Oh iya, itu di bukunya lengkap ya, Mas. Jadi penasaran pengen baca.he

    BalasHapus
  3. Salam kenal, Mas :)
    Bagus banget tulisannya, saya jadi penasaran baca buku ini. Semoga ada versi e-book-nya yaa..

    BalasHapus
  4. Saya juga baru tahu tentang kehidupan calabai mas. Terimakasih... Tambah ilmu baru dengan mbaca resensi buku ini...

    BalasHapus
  5. wahh... baru tahu aku tentang buku ini, khususnya tentang calabai... aku cari ah, sepertinya sih aku bakalan suka buku yang tidak sepenuhnya berisi fiksi ini tapi ada beberapa faktanya juga... pertanyaan penasaranku satu: para calabai ini apakah jadi kayak pastur gitu ya, jadi nggak menikah seumur hidupnya? terus kaderisasinya dengan sistem apa ya? kan jarang bisa dapatin para perempuan yang bersemayam di tubuh lelaki itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah semua jawaban atas pertanyaan mba ade sudah tertera di dalam buku ini.

      Hapus
  6. seru bacanya, apalagi baca bukunya langsung ya :D

    sebenernya saya orangnya males baca, tapi kalau tulisannya seru buat dibaca baru mau baca saya hihi

    BalasHapus
  7. ceritanya tentang anak yang masuk ke negeri para biksu ya :)

    BalasHapus
  8. menarik sekali bukunya mas, bisa tergambarkan disini isinya.
    klo baca pasti betah

    BalasHapus
  9. review bukunya mantap mas, kalau saya di kasih tugas beginian nyerah deh, gak bisa konsen kalau baca buku yang banyak isinya, hehe...

    BalasHapus
  10. Meskipun saya orang bugis dan pernah dengar tentang bissu, saya baru tahu kalau ada tingkatan-tingkatan bagi seorang bissu bahkan kebal terhadap senjata

    BalasHapus
  11. sukeren banget nih blogger yang satu ini, kesempatan baca bukunya banyak banget wajar kalau jadi pinter...sedikit
    Kisah Saidi dari tanah Bugis ini memang banyak mengandung filosofi kehidupan yang sangat relefan jika diterapkan pada kehidupan kita sehari-hari...mereunan yah?

    BalasHapus
  12. mang nggak ada tombol G+ nya ya?...kebiasaan saya ngsharein artikel blog yang saya bwin siapapun dia itu jadi nggak bisa diartikel ini deh tuh

    BalasHapus
  13. Aku selalu suka suku bugis.
    Aku juga mau baca buku ini tapi aku mau tanya ini buku novel atau bukan.
    soalnya kalo bukan novel aku suka ketiduran bacanya muehe.
    Tapi sekarang ada kan ya film yang suku bugis itu lupa judulnya apa, bagus filmnya loh

    BalasHapus
  14. lemah gemulai, sudah ada sejak jaman dulu kala. Dan dari jaman dulu kala, lemah gemulai hanya menjadi lelucin dan geguyon bahkan dikucilkan.

    BalasHapus
  15. Menjadi tugas kita memang di generasi digital mengapresiasi nilai kekayaan budaya daerah seperti keberadaan para Bissu....dengan mengenalkannya ke luar, tidak hanya di sulawesi...hal-hal seperti ini sebenarnya sudah makin langka sehingga menjadi preferensi bagi banyak peneliti, Mas Imron sepertinya punya sense terhadap budaya...salut

    BalasHapus
  16. Oh jadi calabai itu lelaki yang berjiwa perempuan.

    Keren juga si Saidi, setelah menjadi bissu jadi dihormati dan di agungkan. :)

    BalasHapus
  17. wah, upacara yang di sawah itu keren yah...
    nusuk tubuh kame kerissss...

    BalasHapus
  18. Wah, baca reviewnya jadi penasaran. Kayanya menarik sekali isinya :)

    BalasHapus
  19. Sepintas membaca ttg Calabai, saya jadi ingat salah satu tempat di Dompu, ternyata ttg Bugis. Informatif bgt

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih