Langsung ke konten utama

Membaca Motif di Balik Fenomena Skripsi


Ilustrasi

Andai ada voting tentang penghapusan skripsi, mungkin sayalah yang paling utama mengancungkan tangan untuk setuju. Masa iya, berjuang selama bertahun-tahun tapi nasib kita ditentukan pada lembar-lembar skripsi.

Di mata saya, skripsi merupakan salah satu celah dari kesalahan sistem pendidikan kita yang amburadul. Berusaha mencontohi sistem pendidikan dari luar, lalu menerapkannya pada negara dengan culture masyarakat yang jelas-jelas berbeda.

Lihat saja sekarang, Indonesia semakin panas. Skripsi itu memberi kontribusi besar terhadap proses Global Warming. Skripsi ini semakin mempercepat rusaknya peradaban. Mari bayangkan sejenak. Sekarang ini, jurusan semakin bertambah, artinya permintaan terhadap kertas semakin bertambah pula.

Pada kasus ini, kita harus mengetahui bahwa bahan utama pembuatan kertas adalah kayu. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus, konsekuensinya sangat jelas. Sementara itu, setelah menjalani ujian, kertas akan terbuang percuma dan skripsi menjadi usang. Kadang digunakan oleh penjual kacang keliling untuk membungkus dagangannya.

Kertas yang tadinya terbuat dari kayu itu bahkan tak bisa lagi disulap menjadi kayu, apalagi menjadi air. Memang ada beberapa yang mendaur ulang kertas menjadi pernak pernik, hingga barang-barang yang berkualitas, tapi tetap saja tak sebanding dengan jumlah yang tidak terpakai.

Akhirnya, kertas itu tertimbun dan menggunung digudang-gudang perguruan tinggi. Lebih parahnya lagi adalah, masih adanya sejumlah aktivitas pembakaran. Dimana, asap dari pembakaran ini kembali menghasilkan populasi, pencemaran udara, dan menutup lapisan ozon bumi.

Ini belum seberapa. Faktanya adalah, sejumlah masalah besar yang terjadi hari ini adalah buntut dari salahnya sistem pendidikan kita. Salah satunya adalah narkoba. Menurut data dari survey yang dilakukan oleh BNN Provinsi NTB pada 2016 lalu, sebagian besar pengguna narkoba di NTB masih berstatus mahasiswa.

Mereka yang mengkonsumsi obat-obatan terlarang ini, adalah mereka yang memiliki permasalahan seputar kampus terutama menyangkut skripsi. Bagaimana tidak, proses ini membuat mahasiswa lebih mudah mengalami stres. Belum lagi tuntutan orang tua dan justifikasi sosial yang diberikan masyarakat lokal kepadanya.

Pada bagian lain, mereka yang tak mau ambil pusing menyoal permasalahan skripsi, akhirnya memilih jalan pintas. Mereka menyuruh orang lain menanganinya. Bahkan, sejumlah praktek jual beli skripsi masih ditemui dikalangan mahasiswa hingga saat ini.

Di sejumlah kota besar di Indonesia, fenomena skripsi telah menelan banyak korban jiwa. Di Jakarta Selatan, seorang mahasiswa tingkat akhir ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Menurut pengakuan orang tua korban, anaknya yang saat ini tengah sibuk mengerjakan skripsi, diduga putus asa karena skirpsinya telah beberapa kali ditolak. Korban yang tak kuasa menahan malu, akhirnya memilih mengakhiri hidupnya diujung tali.

Kejadian serupa juga terjadi di Sukoharjo pada 2015 lalu. Valentina Anjuna Pangestika, seorang mahasiswa universitas Veteran Bangun Nusantara juga diduga stres karena permasalahan skripsi. Valentina ditemukan tewas bunuh diri di dapur kontrakannya kala itu.

Sungguh memilukan. Skripsi yang seharusnya menjadi tolak ukur prestasi mahasiswa, seakan menjadi ancaman. Tantangannya bukan terletak pada skripsi semata, tetapi juga pada dosen pembimbing mahasiswa. Di kalangan kampus, beredar mitos bahwa jika semuanya ingin lancar, maka jangan sekali-kali membangkang.

Salah atau benar instruksi pembimbing harus diterima dengan suka cita. Kita tidak boleh protes, karena itu menggangu keharmonisan dengan si pembimbing. Sebab konsekuensinya akan berbuntut pada revisi, revisi, dan revisi. Hingga teman-teman lain wisuda, kita masih berkutat pada skripsi yang nantinya akan menjadi mainan tikus-tikus rakus di gudang belakang kampus. Benar atau tidak, entahlah.

Jika sudah demikian, maka rusaklah cita-cita suci pendidikan kita. Lulus atau tidaknya mahasiswa, tak lagi ditentukan oleh kapasitas dan kompetensi, melainkan berdasar pada hukum kepatuhan. Sesuai atau tidaknya skripsi dengan teori, selama mahasiswa itu tunduk maka dia selamat. Tapi jika tidak, maka mahasiswa itu tamat.

Lantas setelah itu, jadilah para eks mahasiswa kita serupa kuota yang kemudian menambah volume tingkat pengangguran di pedesaan. Mereka tak bisa bersaing demi mendapat lapangan pekerjaan yang layak sesuai kapasitas dibidang ilmu masing-masing.

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, seorang mahasiswa tingkat akhir dipersulit karena alasan klasik. Telat konsultasi. Ini jelas mengganggu idealisme dosen, katanya. Lagi-lagi tentang skripsi. Fenomena ini membuatnya terpaksa mengurungkan niat untuk melanjutkan studi ke luar negeri tahun ini. Naasnya lagi, idealisme dosen tak sepenuhnya berlaku pada mahasiswa lain di kampusnya.

Betapa mirisnya wajah dunia pendidikan kita saat ini. Sistem telah mengharuskan seluruh mahasiswa menjadi tunduk dan membebek. Sementara di sisi lain, tak ada regulasi jelas yang mengharuskan setiap dosen untuk berlaku adil serta bersikap profesional kepada segenap mahasiswanya.

Oh iya, Satu lagi. Pernakah anda membaca kisah tentang anak seorang dosen yang dipersulit oleh dosen lain namun berkuliah di kampus yang sama?

Sumbawa, 31 Maret 2017

Komentar

  1. Sy sangat mengamini apa yg mas tulis ini Mas Imron, 6 tahun sudah sy berada dibalik layar membantu mahasiswa di berbagai kampus di Pekanbaru dengan kompensasi, kesimpulan sy hampir 80% bisa lebih besar lagi...selesai atau tidak skripsi ditentukan oleh hal-hal yang tidak ada unsur akademis - ilmiahnya, tp urusan personal...dekat dengan dosen cepat...bermasalah kiamat..., tambahan kasus beberapa waktu yg lalu di salah satu kampus di medan...dosen di gorok mahasiswa di wc kampus karena terus2an dipersulit bimbngan....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang, mahasiswanya yang malas menulis. Karena mahasiswa sekarang lebih suka dengan menonton dan teriak-terika. Budaya menulis berkurang, kalau pendapatku seh, tidak perlu dihapus hanya sekarang gimana caranya supaya menghemat kertas.

      Hapus
  2. Haha... sy suka tulisan ini... jadikan semangat menulis di blog menjadi skripsi... tinggal konversi aja bang 😊

    BalasHapus
  3. Gara-gara skripsi aku jadi trauma mau launjut S2.
    Tapi aku pengen banget bisa berpendidikan tinggi.
    Emang nih skripsi bikin KZL.

    BalasHapus
  4. Skripsi masih menjadi ladang duit bagi yang mengais rezeki. Tidak mengherankan jika tukang-tukang jasa skirpsi semakin tumbuh subur.
    Kalau aku dulu sempat melayani jasa pengetikan dan print, sungguh luar biasa pemborosan kertas. Salah dikit, print ulang. Nanti dapat koreksi dari pembimbing, print ulang.
    Pokoknya capek deh.

    BalasHapus
  5. karena masalah skripsi semua bisa memiliki pandangan masing2… orang yang pandai dan mendapatkan nilai bagus pasti senang, orang yg bodoh dan fustasi bisa bunuh diri... tergantung dari orang itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Skripsi sebenarnya tujuannya untuk membudayakan membaca, mensurvei dan menulis.
      Seperti tulusanku ini yang ingin mengucapkan atas wajah baru blognya.

      Hapus
    2. Kalau mahasiswanya yang bodoh, seharusnya tidak diterima di Perguruan Tinggi. Kalau diterima juga, maka ini janggal. Cari saja berapa nominal yang dibayar ke pihak kampusnya =D

      Hapus
  6. menurut mitos sejak saya bikin skripsi, ajang ini adalah ujian mental terakhir yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswanya yang akan terjun ke dunia nyata yang lebih keras dari sekedar menyelesaikan skripsi...yeaa...sambil ajang cari sampingannya para dosen sih...dan saya dosen pembimbing jugasih sekarang mah...#ehh keceplosan deh tuh

    BalasHapus
  7. Skripsi saya dulu, memperbanyak bimbingan biar sering ketemu dosen, minta bimbingan sesering mungkin biar dosen pembimbing saya mengira saya orang rajin. dan Hasilnya Alhamdulillah Lancar. wkwkwkwk

    BalasHapus
  8. Wah kalo masalah dosen pembimbing mungkin bukan salah skripsinya ya, tapi sdm-nya deh. Kalo di kampus saya dosennya canggih-canggih semua. HUeheehehe. Dan gak ada yang namanya gak boleh membangkang. Kalo mau debat sampe berurat-urat juga silakeeun. Kalo soal skripsinya itu salah, nggak tahu juga deh. Soalnya kan beda kayyak UN yang dikasih soal terus jawab, kalo skripsi ada proses ngnerjainnya gitu-gitu. *opini sotoy* hehehe. \:p/

    BalasHapus
  9. Kalau sudah seperti itu sistem pendidikan kita harus d revisi lagi, yang salah sapa, salahnya dimana apa penyebabnya dan sebagainya

    BalasHapus
  10. Hmmm, itu terkadang membuat diri saya cuma bisa ngelus dada, karena selalu melihat generasi jaman sekarang jauh dengan jaman dulu yang belum mengenal dunia teknologi canggih. Tapi terlepas itu semua tinggal kita saja generasi tua untuk memberi contoh yang baik pada generasi muda.

    BalasHapus
  11. Mungkin bukan skripsinya yang harus dihapuskan, tapi sistemnya lah yang harus kita perbaiki, seperti penggunaan kertas diubah kedalam bentuk yg lebih fleksibel seperti laptop atau tab, pada saat kita di uji kan bisa melalui laptop dan layar proyektor,kan lebih hemat ,lebih menekan penggunaan kertas. Kalo saya rasa skripsi bagus untuk kita tapi sistemnya yg salah.

    BalasHapus
  12. Bener banget sih, mana jaman sekarang banyak banget yg stress gara2 skripsi smp bunuh diri padahal karir akademiknya bagus.

    -M.
    http://www.inklocita.com/2017/04/tiket-jepang-murah.html?m=1

    BalasHapus
  13. Semangaaat mas ngerjain skripsinya. Agak butuh paksaan memang karena banyak sekali ujian dan rintangan dr berbagai arah saat mengerjakan skripsi. Mangaaaats. Salam kenal yak 😁

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih