Langsung ke konten utama

Kisah Muallaf Tionghoa di Balik Masjid Cina Pakuan


Masjid Cina Pakuan, Narmada

Saya termasuk orang yang beruntung sebab bisa kuliah dan tinggal di Lombok. Bagi saya, pulau Seribu Masjid ini ibarat belantara luas yang selalu menarik untuk dijelajahi. Setiap orang tentu bisa menikmati perjalanan panjang di Lombok, lalu dengan antusias mulai menuliskannya sebagai bahan referensi bagi orang lain.

Baru-baru ini, saya mengunjungi sebuah masjid yang terletak di Jurang Malang, Desa Pakuan Narmada, Lombok Barat. Belakangan, masjid ini mulai ramai dikunjungi karena bentuk bangunannya yang khas dan unik. Penasaran dengan beberapa postingan sahabat di media sosial, sayapun berkunjung.


***

Sore itu, langit sedang bersahabat. Tempat ini biasanya laris manis dari guyuran hujan. Setelah membayar retribusi masuk sebesar dua ribu rupiah, sayapun segera berkeliling. Layaknya dibanyak tempat wisata lain, komplek masjid ini juga ramai oleh para pedagang. Mereka antusias menawarkan jajanan kepada para pengunjung yang berdatangan.

Masjid Ridwan ini dibangun di atas dataran tinggi Pakuan. Para pengunjung harus melewati beberapa anak tangga untuk sampai dihalaman utama masjid. Yang membuat saya betah adalah pemandangan desa yang asri diselimuti udara sejuk karena berada disekitar daerah perbukitan.

Masjid Cina Pakuan

Serupa masjid Ceng Hoo di Surabaya, masjid Ridwan memiliki kontur bangunan khas Tionghoa yang menawan dan elegan. Perpaduan warna merah dan kuning keemasan khas Cina, tampak mendominasi bangunan masjid ini.

Yang lebih menakjubkan lagi adalah masjid berukuran kecil ini dibangun oleh pasangan mualaf beretnis Tionghoa Cina, Ang Thian Kok dan Tee Mai Fung, dengan nama islam Muhammad Maliki dan Siti Maryam yang telah lama menetap di Mataram.

Saya mendapatkan referensi tentang pembangunan masjid ini melalui selebaran yang terpampang di bagian dalam masjid. Saya tertegun saat membaca sosok pedagang berdarah Cina itu. Prinspinya tentang “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain” diwujudkan dengan cara membangun sebuah masjid yang tidak saja bisa menjadi tempat peribadatan bagi banyak orang, tetapi juga menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Pakuan.

Ikhtiar Maliki tak sampai disitu, di Sangiang, Desa Langko Lingsar, Lombok Barat ia juga telah membangun masjid lain dengan kontur bangunan yang sama. Masjid itu ia namai masjid Abu Baqar Shiddiq. Ah, semoga di lain waktu saya bisa kesana.

Sesaat membaca sosok Maliki membuat saya termenung. Dia bukanlah muslim fanatik, ia hanyalah seorang mualaf yang menyisihkan sedikit rejeki dari bisnisnya demi membangun sebuah masjid. Saya jadi membayangkan, betapa banyaknya umat beragama di pelosok negeri ini yang hanya melihat agama sekedar bacaan saat beribadah, sehingga lupa membumikannya dalam ladang kehidupan.

Entah kenapa, kita kerap alpa untuk menjadikan agama sebagai pemberi rahmat bagi sekitar, lupa menjadikannya pupuk yang menggemburkan kehidupan, tidak menjadikannya sebagai embun untuk menuntaskan dahaga orang lain. Kita lupa mengasihi orang-orang disekitar kita tanpa memandang apapun kelompok, ras, serta agama mereka. Di luar sana, kita justru sering melihat betapa banyaknya orang yang selalu berbedat dan mempermasalahkan keyakinan.

Kita selalu mempermasalahkan ideologi, agama orang lain, berapa kali orang itu beribadah, tanpa membahas kepasitas dan kemampuan seseorang. Kita lebih sibuk membuktikan orang lain adalah kafir dan akan masuk neraka, tanpa menjadikan diri kita sebagai berkah bagi sekeliling. Kita juga tak membahas bagaimana langkah kecil yang dapat kita lakukan demi menggapai mimpi bangsa, yakin menciptakan suatu keadaan yang adil, rukun, damai dan tentram baik secara material maupun spritual.

Di saat kita masih berdebat tentang ideologi dan keyakinan, orang lain telah berusaha melesat maju dengan segala yang dimilikinya. Maliki mengakui bahwa aktifitasnya membangun masjid, tak pernah mempengaruhi keadaan perekonomian keluarganya. Bahkan dia berjanji akan tetap membangun masjid di tempat-tempat lain di Lombok.

Hari ini, saya menyerap embun kebijaksanaan dari mualaf Tionghoa itu. Saya merasakan semilir angin membawa ketenangan batin saat membaca kisah Maliki di masjid Ridwan Pakuan. Dia membuktikan bahwa tujuan utama dalam beragama adalah menciptakan ketenangan, ketentraman dan kedamaian sebagaimana udara sejuk khas perbukitan yang saya rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.

Maliki tak pernah mempermasalahkan siapapun yang berkunjung ke masjidnya. Pintu masjid Ridwan selalu terbuka untuk siapa saja. Bagi wisatawan muslim, masjid ini adalah tempat peribadatan yang nyaman dan mendamaikan hati. Akan tetapi bagi para saudara yang berkeyakinan lain, masjid ini tentu bisa menjadi objek menarik untuk mengabadikan moment berharga bersama pasangan dan keluarga.

“Jangan kebanyakan melamun, nanti kesambet ” kata seorang gadis yang ikut menemani saya ketempat ini. “Masjid ini unik, rugi jika tidak foto bersama” ajaknya.


Mataram, 20 Februari 2017

Komentar

  1. saatnya kita kembali menjadi umat Islam yang sungguh-sungguh mengikuti perintahnya dan sunnah Rasul yang sebenar-benarnya yang tidak menafikan bahwa ada umat lain disamping kita yang memang sudah ditakdirkan untuk berdampingan bersama-sama dengan kita, lihatlah banyak islam yang dari ras dan bangsa yang berbeda

    BalasHapus
  2. Masjidnya indah sekali ya, Mas. Semoga semakin banyak kaum muslim yang bisa merasakan indahnya beribadah di tersebut :)

    BalasHapus
  3. Unik ya bangunan mesjidnya, kesan tonghoa-nya kental banget, salut buat yang desain...

    Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat buat orang lain, saya suka sekali prinsip ini...

    BalasHapus
  4. bagus dan unik masjidnya, klo deket tempat saya ada masjid chengho pasuruan

    BalasHapus
  5. Aaah...sayangnya waktu beberapa bulan lalu ke Lombok, nggak sempat berkunjung ke masjid ini. Semoga suatu saat bisa..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil

Angling Dharma dan Imajinasi Masa Kecil Di antara sekian banyak serial kolosal tanah air, favorit saya tetaplah Angling Dharma. Semasa masih SD dan SMP, saya tak pernah alpa menonton film ini. Saya sampi hapal nama-nama tokoh juga ajian pamungkasnya.  Semalam, saya menghabiskan waktu berjam jam untuk menyaksikan serial Angling Dharma di Youtube. Saya menonton ulang episode demi episode. Beberapa yang saya sukai adalah mulai dari Wasiat Naga Bergola hingga pertempuran melawan Sengkang Baplang.  Entah kenapa, meskipun sudah menonton berkali-kali, saya tak pernah bosan. Serial Angling Dharma punya cita rasa tersendiri bagi saya. Serial ini selalu mampu membangkitkan ingatan di masa kecil. Dulu, saya selalu menyembunyikan remot tv saat menyaksikan serial ini.  Salah satu adegan favorit saya adalah saat Angling Dharma beradu kesaktian dengan banyak pendekar yang memperebutkan Suliwa. Hanya dengan aji Dasendria yang mampu menirukan jurus lawan, ia membuat para musuhnya tak berkutik. Angling

Kesadaran Memiliki Anak

Gambar: google Lagi ramai soal " childfree " atau sebuah kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Biasanya, penganut childfree ini beranggapan bahwa memiliki anak itu adalah sumber kerumitan. Benarkah?  Saya belum bisa menyimpulkan sebab sampai tulisan ini di buat, saya sendiri belum memiliki anak. Tapi, menarik untuk membahas tema ini. Saya senang dengan kampanye soal ribetnya memiliki anak, sekali lagi saya ulangi, jika kampanye itu bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa tidak gampang memiliki, mengurusi, mendidik, dan membesarkan anak.  Maksudnya, jika kita ingin memiliki anak, sadari dulu konsekuensi bahwa memiliki anak itu tidak gampang. Para orang tua minimal dituntut untuk membesarkan anak ini secara layak. Tak perlu jauh-jauh, tengok saja di sekitar kita, tak jarang orang tua mengeksploitasi anak untuk kepentingan yang tidak wajar.  Contoh kasus: saya sering melihat ibu-ibu mengemis di lampu merah sambil menggendong anak. Di kota-k

Rahasia Sukses Timnas Maroko di Piala Dunia Qatar 2022

Timnas Maroko "Itulah bola, selalu ditentukan oleh nasib, sebagaimana Argentina vs Arab Saudi kemarin. Demikian pula yang terjadi pada Maroko malam tadi".  Kalimat di atas adalah contoh kalimat malas mikir. Tak mau menganalisa sesuatu secara objektif dan mendalam. Akhirnya tidak menemukan pembelajaran dan solusi apapun atas satu peristiwa.  Jangan mau jadi orang seperti itu. Berfikirlah secara rasional. Gunakanlah semua instrumen untuk menganalisa satu perkara. Perihal Maroko menang semalam itu bukan soal sepakbola itu ditentukan nasib, tapi soal kualitas pemain, strategi, mental tim, dan kerja keras.  Salah satu faktor kekalahan Argentina melawan Arab Saudi pada fase grup adalah efektivitas jebakan offside yang diterapkan Arab Saudi. Hal itu juga diiringi dengan efektivitas pemain Arab Saudi dalam mengkonversikan peluang menjadi gol.   Portugal menang 6-1 lawan Swiss bukan ujuk2 soal nasib baik, tetapi karena kolektifitas tim dan faktor yang disebutkan di atas tadi. Pelatih